Pengantar :
Untuk direnungkan bersama….
Diantara sebab-sebab yang paling kuat menyebabkan perpecahan adalah sifat al-bagyu.
Jika khilaf yang terjadi masih dalam perkara-perkara yang diperbolehkan untuk berijtihad maka khilaf tersebut tidak akan mengakibatkan fitnah dan perpecahan selama orang-orang yang khilaf tidak memiliki sifat al-bagyu. Namun jika disertai dengan sifat al-bagyu –meskipun khilaf tersebut ringan- maka akan menimbulkan fitnah dan perpecahan.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Akan tetapi ijtihad yang diperbolehkan tidaklah (sampai menimbulkan akibat buruk hingga) pada tahapan fitnah dan perpecahan kecuali jika disertai dengan sikap al-bagyu, bukan hanya murni ijtihad. Sebagaimana firman Allah
وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ (آل عمران : 19
Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena al-bagyu (yang ada) di antara mereka. (QS. 3:19)
….maka tidak akan timbul fitnah dan perpecahan dikarenakan adanya ijtihad yang masih diperbolehkan akan tetapi jika disertai dengan sesuatu dari al-bagyu” (Al-Istiqoomah I/31)
Sifat al-bagyu inilah yang telah menyebabkan ahlul kitab saling berselisih dan berpecah belah padahal mereka telah jelas berada di atas ilmu.
Allah berfirman
وَمَا تَفَرَّقُوا إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ (الشورى : 14
Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena al-bagyu diantara mereka. (QS. 42:14)
Ibnu Taimiyyah berkata –mengomentari ayat ini- ((Dan Allah mengabarkan bahwa perpecahan mereka (ahlul kitab) hanyalah terjadi setelah datangnya ilmu kepada mereka yang menjelaskan kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Karena Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. (Lihat QS. 9:115)
Dan Allah mengabarkan bahwasanya mereka (ahlul kitab) tidaklah berpecah belah kecuali karena sifat Al-bagyu. Dan al-bagyu adalah sikap melanggar batas sebagaimana perkataan Ibnu Umar, “(al-bagyu adalah) (1) kesombongan (keangkuhan) dan (2) hasad (kedengkian)”. Dan hal ini berbeda dengan perselisihan karena ijtihad yang tanpa ilmu dan juga tidak diinginkan darinya rasa dengki sebagaimana perselisihan para ulama yang diperbolehkan.
Dan al-bagyu adalah sikap menyia-nyiakan kebenaran atau sikap melanggar batas. Maka al-bagyu adalah meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan haram. Dengan demikian diketahui bahwa yang menyebabkan perpecahan adalah hal itu (al-bagyu).
Hal ini sebagaimana Firman Allah tentang orang-orang Nashrani
وَمِنَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُواْ حَظّاً مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ (المائدة : 14
Dan diantara orang-orang yang mengatakan:”Sesungguhnya kami orang-orang Nasrani”, ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. (QS. 5:14)
Allah mengabarkan bahwa sikap mereka yang melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya –(3) yaitu tidak mengamalkan sebagian perkara-perkara yang mereka diperintahkan untuk melaksanakannya- merupakan sebab ditimbulkannya permusuhan dan kebencian diantara mereka, dan demikianlah kenyataan yang terjadi pada pemeluk agama ini (kaum muslimin-pen)…
Maka nampaklah bahwa sebab persatuan dan persahabatan adalah mengumpulkan seluruh perkara-perkara agama dan mengamalkannya seluruhnya yang hal itu adalah (4) beribadah kepada Allah saja tanpa kesyirikan, sebagaimana Allah memerintahkan hal ini baik dalam batin maupun secara dzohir.
Dan sebab perpecahan adalah meninggalkan sebagian perkara yang diperintahkan untuk dilaksanakan dan al-bagyu diantara mereka)) (Majmuu’ Fatawa I/14-15)
Makna Al-Bagyu
As-Syaukani menjelaskan makna al-bagyu tatkala menafsirkan firman Allah
{إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ{ (النحل : 90
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan (QS. 16:90)
“Adapun al-bagyu adalah al-kibr (keangkuhan), dan dikatakan juga kedzoliman, dan dikatakan juga kedengkian, dan dikatakan juga pelanggaran, dan hakikat al-bagyu adalah sikap melebihi batas. Maka al-bagyu mencakup perkara-perkara yang disebutkan di atas. Dan seluruh jenis al-bagyu termasuk di bawah kalimat kemungkaran, namun dikhususkan penyebutan al-bagyu untuk diperhatikan karena besarnya bahaya dan kembalinya akibatnya kepada pelakunya. Dan al-bagyu termasuk dosa-dosa yang kembali kepada pelakunya sebagaimana firman Allah
{إِنَّمَا بَغْيُكُمْ عَلَى أَنفُسِكُم{ (يونس : 23
Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri (QS. 10:23)” (Fathul Qodir III/188)
Ibnu Manzhur menyebutkan, “Dan al-bagyu asalnya adalah hasad (kedengkian) kemudian dinamakan kedzoliman dengan al-bagyu karena orang yang hasad mendzolimi orang yang sangat ia dengki karena ingin hilangnya kenikmatan yang telah Allah berikan kepada orang yang didengkinya itu” (lisanul Arab XIV/79)
Dari penjelasan di atas kita bisa mengetahui bahwa makna al-bagyu adalah sikap melanggar batas yang tercermin diantaranya pada sifat-sifat berikut (sebagaimana yang dipraktekan oleh Ahlul kitab):
1. Angkuh (sombong)
2. Hasad (dengki)
3. Meninggalkan sebagian perintah Allah
4. Tidak ikhlas
Kita lihat para sahabat dan para salaf serta para ulama robbaniiyin meskipun mereka berselisih namun mereka tidaklah saling berpecah belah atau saling menjatuhkan, bahkan mereka saling mencintai dan saling menghargai. Hati-hati mereka tetap bersatu meskipun mereka banyak saling berselisih dalam masalah-masalah ijtihadiah, hal dikarenakan mereka jauh dari sifat dengki (hasad), keangkuhan, dan mereka mengamalkan perintah-perintah Allah serta mengikhlaskan amalan mereka.
Adapun orang-orang yang ada dalam hati mereka sifat saling mendengki, kangkuhan, kurang ikhlas dalam beribadah, atau kurang benar amalannya maka mereka akan berpecah belah meskipun mereka berada di atas ilmu yang satu, di atas manhaj yang satu. Sebagaimana Ahlul kitab yang telah datang kepada mereka ilmu yang jelas dan mereka semua mengetahui kebenaran ilmu tersebut namun mereka terpecah belah.
Oleh karena itu para saudaraku marilah kita renungkan tentang kondisi kita, mungkin saja yang menyebabkan perpecahan diantara kita adalah terbelunggunya kita pada salah satu dari sifat-sifat al-bagyu tersebut.
Apakah kita masih terbelenggu dengan sikap angkuh??, masihkah kita merasa bahwa sahabat kita yang berjuang bersama kita dalam berdakawah lebih bodoh dari kita dan kita yang lebih ngerti dan lebih pandai dari dia…??. Sebagian da’i yang telah lama berkecimpung dalam medan dakwah memandang miring terhadap sebagian da’i yang baru berkecimpung dalam medan dakwah dan menganggap remeh mereka. Mereka merasa diri mereka lebih senior, lebih berjasa dalam berdakwah, dan butuh penghormatan dari dai-dai yang baru (muda).
Sebaliknya sebagian dai yang muda (yang baru berkecimpung dalam medan dakwah) merasa dirinya lebih pintar dari dai-dai senior karena mereka lebih lama menuntut ilmu di luar negeri, sehingga sikap sebagian mereka menunjukan akan kurang penghormatan mereka terhadap para dai senior. Tidaklah semua ini terjadi kecuali karena adanya sikap angkuh yang ada pada kedua belah pihak.
Masihkah kita merasa kita lebih hebat daripada saudara kita yang lainnya…??, maukah kita menerima nasehat dan kritikan dari saudara kita ataukah keangkuhan menjadikan kita menolak hal itu…??
Apakah kita masih terbelenggu dengan sikap saling mendengki??, apakah kita cemburu dan dengki tatkala ada seorang dai (saudara kita) yang pengikutnya lebih banyak dari pengikut kita…?, suaranya lebih didengar…?, ia lebih dihormati oleh kaum muslimin…?, ilmunya lebih tinggi dari ilmu kita…?masih muda dan baru terjun ke medan dakwah namun dakwahnya lebih berhasil daripada dakwah kita…?, gelarnya lebih rendah daripada gelar kita (atau bahkan tidak memiliki titel sama sekali) namun ia lebih diterima masyarakat…??!!., dan masih terlalu banyak sebab-sebab yang bisa menimbulkan hasad.
Janganlah kita terlalu merasa percaya diri bahwa kita terbebas dari hasad. Ibnu Taimiyyah pernah berkata, “…Terdapat diantara para ahli ilmu yang memiliki pengikut sifat hasad (yang besar-pen) yang tidak terdapat pada selain mereka…” (Majmu’ fataawa X/114-115)
Sudahkah kita ikhlas tatkala berdakwah??. Apakah selama ini kita berdakwah karena Allah?, ataukah karena yayasan yang kita miliki??, atau karena pondok yang kita miliki??. Jangan sampai kita berdakwah karena ingin dikatakan bahwa pondok kita adalah yang paling banyak muridnya…, yang paling berhasil…. Ingin dikatakan bahwa yayasan kita adalah dakwahnya yang paling tersebar di nusantara…, yang paling banyak kegiatannya…, yang paling banyak pengikutnya…!!!
Syaikh Abdul Malik Romadhoni berkata, “Ikhlas itu bukan hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga berkaitan dengan dakwah kepada Allah. Rasulullah saja (tetap) diperintahkan oleh Allah untuk ikhlas dalam dakwahnya
(قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ| (يوسف:108
Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. 12:108)
Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan adalah dakwah yang dibangun karena untuk mencari wajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan sampai ada diantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika dikatakan bahwa kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika mesjid-mesjid mereka disebut dengan mesjid-mesjid ahlus sunnah, atau mesjid mereka adalah mesjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau mesjid pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya. Dan ini adalah musibah yang sangat menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang sedang ia menyangka bahwa ia sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak mesjid yang aku lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya dzohirnya berada di atas sunnah karena disebabkan rusaknya batin mereka, dan sebab berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah mesjid adalah yang pertama kali berada di atas sunnah. Hendaknya kalian berhati-hati…” (lihat ceramah beliau yang berjudul ikhlash)
Kemudian keikhlasan juga teruji tatkala kita membantah atau menasehati saudara kita. Apakah benar nasehat atau bantahan yang kita arahkan kepada saudara kita yang bersalah atau menuduh kita dengan sembarangan kita lakukan karena Allah ataukah karena hanya sekedar untuk menang dalam perdebatan…?? Seseorang terkadang ikhlas di awal ia menasehati saudaranya namun tatkala ia dibantah atau dituduh yang bukan-bukan oleh saudara yang dinasehatinya tadi akhirnya niatnyapun berubah jadilah ia masuk dalam perdebatan untuk membela diri. Yang lebih parah lagi dia tetap menyerang saudaranya tersebut dan menghabisinya meskipun dia tahu bahwa saudaranya tersebut telah berijtihad dan memiliki udzur.
Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kemudian jika ia dibantah atau disakiti atau dikatakan bahwa ialah yang bersalah atau niatnya buruk, maka jiwanya menuntutnya untuk membela dirinya. Jadilah awal amalannya karena Allah namun kemudian hawa nafsunya menuntutnya untuk membela dirinya mengalahkan orang yang telah menyakitinya. Bahkan terkadang ia bersikap melampaui batas terhadap orang yang menyakitinya tersebut. Dan demikianlah yang menimpa orang-orang yang memiliki pendapat-pendapat yang saling berselisih jika masing-masing merasa dia berada di atas kebenaran dan berada di atas sunnah. Sesungguhnya mayoritas mereka telah mengikuti hawa nafsu mereka untuk membela kedudukan mereka atau kepemimpinan mereka dan perkara-perkara yang cocok dengan mereka. Mereka tidak menghendaki untuk meninggikan kalimat Allah dan agar seluruh agama adalah milik Allah, akan tetapi mereka murka kepada siapa saja yang menyelisihi mereka meskipun yang menyelisihi mereka tersebut adalah seseorang yang telah berijtihad dan mendapat udzur -yang menyebabkan Allah tidak murka kepadanya-. Mereka ridho kepada siapa saja yang setuju dengan mereka meskipun bodoh dan memiliki tujuan yang buruk..” (Minhaajus sunnah V/254-255)
Sudahkah kita mengamalkan apa yang kita dakwahkan??, ataukah hanya ucapan manis yang bisa kita ucapkan, yang bisa kita lontarkan dan sampaikan kepada orang lain (para pendengar) sementara kita tidak melakukannya??
Sudahkah kita berusaha mengamalkan seluruh sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?, ataukah masih terlalu banyak sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita lalaikan??. Jangan sampai ahlul bid’ah lebih semangat dan lebih banyak melaksanakan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita yang mengaku sebagai ahlus sunnah??, jika demikian keadaannya jangan sampai keadaan kita lebih buruk dari mereka (ahlul bid’ah tersebut), wal ‘iyaadzu billah.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan banyak orang-orang yang mengingkari bid’ah-bid’ah ibadah dan adat engkau dapati mereka muqosshir (kurang) dalam mengerjakan sunnah-sunnah dari hal itu (yang berkaitan dengan ibadah-pen) atau dalam beramar ma’ruf (menyeru manusia) untuk mengerjakan sunnah-sunnah tersebut (yang berkaitan dengan ibadah). Dan mungkin saja keadaan banyak dari mereka (Yaitu mereka yang mengingkari bid’ah namun tidak mengerjakan banyak sunnah-sunnah Nabi -pen) lebih buruk daripada keadaan orang yang melakukan ibadah-ibadah tersebut yang bercampur dengan suatu kemakruhan (Maksud beliau dengan kemakruhan di sini adalah kebid’ahan sebagaimana sangat jelas dalam penjelasan beliau sebelumnya-pen). Bahkan agama itu adalah amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan tidak bisa tegak salah satu dari keduanya kecuali jika bersama dengan yang lainnya. Maka tidaklah dilarang suatu kemungkaran kecuali diperintahkan suatu kema’rufan…” (Iqtidho’ As-Shirootil Mustaqiim II/126, Maksud Ibnu Taimyah adalah hendaknya seseorang yang melakukan nahi mungkar dengan mengingkari bid’ah tidaklah hanya mencukupkan (menyibukan) dirinya dengan bernahi mungkar saja, akan tetapi hendaknya ia juga sibuk dengan ber’amar ma’ruf (yaitu menyeru kepada) sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkannya. Tidak sebagaimana banyak dari orang-orang yang mengingkari bid’ah namun mereka sendiri tidak sibuk mengerjakan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebagian ahlul bid’ah lebih semangat melaksanakan sunnah-sunnah tersebut daripada mereka. Allahul Musta’aan)
Jika kondisi kita memang masih demikian maka marilah kita sama-sama membenahi diri kita masing-masing sebelum terus melanjutkan perjuangan dakwah salafiyah, sesungguhnya musuh-musuh sunnah selalu menanti-nanti kehancuran dakwah salafiyah.
Nasehat Syaikh Al-Albani kepada salafiyin untuk bersatu, tidak saling menghajr, saling bertoleransi di antara mereka, serta tidak fanatik kepada salah seorang syaikh salafi tertentu
Sebelum para pembaca budiman menyimak nasehat yang sangat agung dari Syaikh Al-Albani berikut ini, hendaknya para pembaca sekalian mengingat bahwa nasehat ini ditujukan kepada salafiyin secara khusus yang saling berselisih dan saling menghajr dan memutuskan hubungan diantara mereka.
Semoga Allah membuka hati-hati kita dalam mengambil faedah dari nasehat yang agung ini.
Nasehat Pertama (Larangan Untuk Fanatik Terhadap Syaikh Salafi Tertentu)
Sikap ta’asshub (fanatik) terhadap salah seorang syaikh tertentu merupakan sebab terbesar timbulnya perpecahan. Biasanya sikap fanatik itu timbul dari murid syaikh tersebut, terutama jika sang murid tidak pernah belajar dengan syaikh-syaikh yang lain sehingga tidak bisa membandingkan syaikhnya dengan syaikh-syaikh yang lain. Terkadang sikap tidak pernah belajar kecuali hanya kepada seorang guru menimbulkan semacam keyakinan bahwa apa yang dibawa oleh gurunya selalu benar…karena ia tidak pernah melihat kesalahan-kesalahan gurunya, akhirnya iapun mengkultuskan gurunya tersebut. Adapun para salaf jika kita perhatikan biografi mereka terkadang diantara mereka ada yang memiliki ribuan guru…., karenanya mereka sangat jauh dari sikap fanatik terhadap individu tertentu
Nasehat Syaikh Al-Albani yang pertama ini asalnya merupakan jawaban dari sebuah permintaan salah seorang ikhwah salafiyin yang berasal dari Kuwait agar syaikh Al-Albani menasehati salafiyin yang saling berpecah belah dan saling tahdzir mentahdzir diantara mereka. Penulis menyampaikan nasehat syaikh Al-Albani karena isinya yang juga cocok dengan kondisi salafiyin di tanah air yang saling berpecah belah (Barangsiapa yang ingin mendengar pertanyaan yang panjang yang dilontarkan oleh si penanya maka silakan simak langsung dalam kaset Silsilah Al-Huda wan Nuur no 779)
Syaikh Al-Albani berkata,
Demi Allah ya akhi, menurutku hendaknya kita tidak membicarakan individu-individu yang saat ini dipuji dan di cela. Terus terang aku sering didatangi pertanyaan-pertanyaan dari Kuwait, Uni Emirat Arab, dan yang lainnya, “Syaikh apa pendapat anda tentang si fulan…??” yang sipenanya nampaknya condong (sejalan) dengan si fulan tersebut atau bertolak belakang dengannya. Maka akupun mencegahnya untuk bertanya-tanya semisal peratanyaan-pertanyaan seperti ini. Aku katakan kepadanya ,”Ya akhi tanyalah pertanyaan-pertanyaan yang bermanfaat bagimu, yaitu yang berkaitan dengan perkara-perkara yang meluruskan akidahmu, ibadahmu, dan yang memperbaiki akhlakmu. Janganlah engkau bertanya tentang Zaid, Bakr, dan ‘Amr (tentang fulan dan fulan)!!”. Karena pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya menambah semakin berkobarnya nyala api. Dan bisa jadi sipenanya bersama kelompok A dan menentang kelompok B, atau sebaliknya ia bersama dengan kelompok B dan menentang keolompok A. Jika engkau memuji yang ini berarti engkau mencela yang itu, dan sebaliknya jika engkau memuji yang itu berarti engkau mencela yang ini. Dan hal ini hanya menambah bara api dan berkobarnya nyala api.
Oleh karena itu kami menasehati dengan perkataan yang global yang mengingatkan aku pada perkataan Abu Bakar As-Shiddiq tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Abu Bakar As-Siddihiq adalah satu-satunya yang kaum muslimin ijma’ (sepakat) untuk mencintainya dan barangsiapa yang berpaling dari mencintai beliau maka ia telah kafir. Berbeda dengan banyak para sahabat yang lain, tentang mencintai mereka dan mencela mereka, yaitu sifat mencela mereka kebanyakannya merupakan kefasikan dan bukan kekufuran. Aku ingin mengatakan bahwasanya meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pimpinan umat manusia dan kecintaan setiap muslim namun Abu Bakar As-Siddiq segera mendahului mereka dengan berkata tatkala Umar tegak dalam keadaan marah terhadap orang yang menukil kabar bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat –kaliau tentu telah mengetahui kisah ini- yang menjadi perhatian kita yaitu tatkala itu Abu Bakar berkata, “Barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Dan barangsiapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha hidup, kekal dan tidak akan mati”. Maka menurutku tidak boleh bagi setiap kelompok tersebut untuk membuat kelompok membela si fulan untuk menentang si fulan yang lain atau sebaliknya. Akan tetapi aku berkata sebagaimana firman Allah
وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة : 119
Dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. 9:119)
Dan mereka para pemuda (salafiyiin) yang engkau (penanya) sebutkan (dalam pertanyaan di atas) mereka adalah yang paling berhak untuk mengamalkan nasehat ini.
Hendaknya mereka para pemuda yang semangat (membela) si Zaid untuk menentang si Bakr atau sebaliknya semangat membela si Bakr untuk membantah si Zaid, hendaknya mereka memberikan perhatian mereka untuk memperbaiki aqidah mereka, ibadah mereka, dan akhlak mereka, serta janganlah mereka bersikap ta’assub (fanatik) terhadap individu-individu tersebut baik membela atau sebaliknya menentang mereka. Karena sikap fanatik seperti ini pertama sangat mirip dengan sikap menyembah para individu, yang ibadah seperti ini telah diperingatkan oleh Abu Bakar As-Siddiq dalam perkataannya yang lalu “Barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Dan barangsiapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha hidup, kekal dan tidak akan mati”. Semangat (fanatik) membela individu-individu tersebut adalah fanatik terhadap sesuatu yang bukan ma’sum (tidak terjaga dari kesalahan). Padahal perkaranya sebagaimana perkataan Imam Malik yaitu Imam Darul Hijroh, “Tidaklah salah seorangpun dari kita kecuali dia akan membantah atau dibantah kecuali penghuni kuburan ini”, lalu beliau memberi isyarat kepada kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapapun juga orangnya yang berta’assub (fanatik) kepada seseorang, yaitu orang alim, atau seorang dai maka ia pasti akan mendapatkan ada kesalahannya. Atau dia fanatik untuk membantah seseorang kecuali dia akan mendapatkan ada kebenaran pada orang tersebut, ia akan mendapatkan ada kebaikan pada orang tersebut. Oleh karena itu -sebelum kami menasehati yang lainnya (para mad’u)-, kami menasehati mereka para (ulama atau dai) yang berselisih -yang menyebabkan timbulnya perpecahan para pemuda yang berada di sekeliling mereka menjadi dua kelompok atau lebih- , kami menasehati mereka yang berselisih dalam beberapa permasalahan –dan aku mengucapkan alhamdulillah karena perselisihan yang terjadi diantara mereka menurut i’tiqadku (keyakinanku) bukanlah khilaf yang berkaitan dengan aqidah, akan tetapi hanyalah khilaf yang terjadi pada permasalahan-permasalahan yang mungkin kita namakan menurut istilah orang-orang sekarang adalah permasalahan-permasalahan furu’ (cabang), bukan permasalahan-permasalahan yang usul (pokok) atau inti. (Ini adalah pandangan Syaikh Al-Albani terhadap khilaf-khilaf yang terjadi diantara salafiyin. Beliau memandang bahwa khilaf-khilaf tersebut kebanyakannya adalah berkaitan dengan permasalahan furu’ dan bukan pada perkara-perkara yang pokok dan prinsip. Namun kalau kita perhatikan kenyataan yang terjadi diantara salafiyin yang berselisih, kita dapati sebagian salafiyin yang memaksakan saudara-saudaranya untuk mengikuti pendapatnya menjadikan khilaf yang timbul diantara mereka merupakan perkara yang pokok dan prinsip yang harus dibangun al-wala’ dan al-baro’ diatasnya. Hawa nafsu dan keinginian untuk memaksakan pendapat menjadikan mereka memandang perkara yang furu’ menjadi perkara yang usul (pokok)…wallahul musta’aan.-pen)
Jika para ulama berselisih maka tidaklah sepantasnya orang-orang yang berada di sekitar mereka ikut berpecah belah bersamaan dengan terpecahnya ulama mereka!!!. Karena perkaranya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ فَلَهُ أَجْرٌ
Jika seorang hakim berijtihad dan benar maka dia mendapatkan dua ganjaran, dan jika dia berijtihad dan bersalah maka baginya satu ganjaran ( HR Al-Bukhari no 6919 dan Muslim no 1816)
Maka kami menasehati mereka yaitu para ulama atau para dai yang berselisih agar mereka tidak saling berusaha menjatuhkan diantara mereka akan tetapi hendaknya mereka saling bermu’amalah dengan landasan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْثِ
“Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah berita yang paling dusta” (HR Al-Bukhari (6066) dan Muslim (2563))
Jika si Zaid bersalah maka wajib bagi kita untuk menjelaskan kesalahannya dengan cara yang terbaik dan bukan dengan cara yang terburuk. Dan hendaknya masing-masing dari yang berselisih menempuh metode ini, karena kita semua mengaku bahwa kita adalah salafiyun yaitu kita semua mengikuti para salafus sholeh dan jalan yang ditempuh oleh mereka baik petunjuk, manhaj, maupun akhlak. Dan kita mengetahui bahwasanya mereka (para salaf) telah beselisih dalam banyak permasalahan, akan tetapi perselisihan ini tidaklah menjadi sebab terpecah belahnya mereka atau saling memusuhi diantara mereka.
Ada beberapa pendapat yang absah dari sebagian salafus sholeh yang kalau seandainya ada seseorang sekarang ini memegang pendapat-pendapat tersebut secara tidak sengaja -karena pendapat—pendapat tersebut sama sekali tidak ada sisi kebenarannya- maka semua orang akan tegak berdiri menentangnya, padahal dahulu tidaklah mereka (para salaf) tegak menentang sahabat tersebut yang menyimpang dari pendapat para sahabat yang lain dalam hukum tertentu. Umar bin Al-Khotthob melarang seorang yang hendak berhaji melaksanakan haji dengan haji tamattu’. Dan setelah beliau, sikap ini juga diikuti oleh Utsman bin ‘Affan. Dan tatkala Utsman berhaji di masa kekhalifahannya, beliau juga melarang orang-orang yang berhaji bersama mereka untuk berhaji tamattu’. Lalu Ali bin Abi Tholib –yang dia merupakan salah satu individu dari umat ini dan merupakan khalifah setelah Utsman- berdiri di hadapan Utsman dan berkata kepadanya, “Kenapa engkau melarang suatu amalan yang dahulu kita mengerjakannya di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, Labbaik Allahumma Umroh wa Hajj…”. Yang satunya (yaitu Utsman) melarang haji tamattu’ dan yang lainnya menampakkan di hadapan wajahnya akan bolehnya haji tamattu yang merupakan sunnah’. Namun meskipun demikian rakyat sama sekali tidak berpecah belah diantara mereka. Akan tetapi mereka menghormati pendapat masing-masing dari Utsman dan Ali, dan mereka mungkin saja condong kepada pendapat Khalifah Utsman karena dia adalah seorang khalifah kaum muslimin (tatkala itu) dan seterusnya…. Kenapa??, karena suatu khilaf jika terjadi diantara para ulama maka hendaknya khilaf tersebut terbatas pada mereka saja dan tidak menyebar atau menular kepada masyarakat (orang awam), karena masyarakat tidak memiliki keilmuan yang kokoh dan akal yang cemerlang dan dewasa yang mencegah mereka untuk bersikap melampaui batas tatkala terjadi perselisihan.
Contoh yang lain misalnya Utsman berpendapat bahwa seseorang jika melakukan jimak dan tidak sampai mengeluarkan mani maka cukup baginya untuk berwudhu dan tidak perlu mandi. Padahal pendapat ini jelas menyelisihi hadits yang shahih dan sangat jelas
إِذَا مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Jika khitan bertemu dengan khitan maka wajib untuk mandi” (HR Muslim no 349 dari hadits Aisyah)
Baik keluar mani ataupun tidak
Namun meskipun demikian tidaklah terjadi perselisihan dan fitnah misalnya antara Utsman dan Aisyah yang telah meriwayatkan hadits yang menyelisihi pendapat Utsman. Dan permasalahan-permasalahan yang dikhilafkan seperti ini banyak, namun maksudnya adalah sekedar untuk memberikan contoh dan memudahkan pemahaman.
Dan yang lebih ajaib dari ini semua adalah Umar bin Al-Khottob dahulu melarang seorang yang safar untuk bertayammum jika tidak mendapatkan air. Namun hendaknya musafir tersebut tetap dalam keadaannnya tidak sholat hingga ia mendapatkan air. Padahal ayat sangat jelas dalam permasalahan ini. Allah berfirman
فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً (النساء : 43
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). (QS. 4:43)
Dan sampai kepada Umar bin Al-Khotthob bahwasanya Abu Musa Al-‘Asy’ari –yaitu di zaman pemerintahan Umar- memberi fatwa sebagaimana dzohir dari ayat yaitu seorang musafir jika tidak mendapatkan air maka bertayammum. Maka Umarpun memanggil beliau dan berkata, “Telah sampai kepadaku bahwasanya engkau berfatwa demikian dan demikian…”. Abu Musa berkata, “Benar ya Amirul mukminin, tidakkah engkau ingat bahwasanya kita pernah bersama dalam sebuah safar (perjalanan) dan kita berdua dalam keadaan junub. Maka engkau dan akupun mengguling-guling badan di tanah. Kemudian kitapun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita mengabarkan apa yang telah kita lakukan maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya cukup bagimu untuk memukulkan kedua telapak tangan kalian ke tanah dengan sekali pukulan kemudian engkau mengusap wajahmu dan kedua tanganmu dengan kedua telapak tanganmu tersebut”. Umar berkata, “Aku tidak ingat kejadian ini”. Abu Musa berkata, “Apakah engkau melarangku untuk berfatwa”, Umar berkata, “Tidak, akan tetapi kami memberikan keluangan kepadamu”. Maksud dari perkataan Umar ini adalah sebagaimana perkataan orang-orang sekarang, “Yaitu terserah kamu karena itu tanggung jawabmu sendiri, namun aku tidak ingat akan kejadian ini”. Umar bin Al-Khottob berpendapat demikian karena beliau berpegang dengan dalil asal, yaitu bahwasanya asalnya bersuci dari janabah adalah mandi dengan air.
Intinya, semua khilaf yang tejadi ini dan masih banyak sekali khilaf-khilaf yang lain tidaklah menyebabkan terpecah belahnya umat Islam. Karena seorang alim berpendapat sesuai dengan apa yang dilihatnya dan umat mengikuti para ulama mereka dari belakang. Barangsiapa yang puas dan tenang dengan pendapat yang itu maka dia berada di atas petunjuk, dan barangsiapa yang puas dan tenang dengan pendapat yang lain maka ia juga berada di atas petunjuk. Karena kami dalam kesempatan ini mengucapkan sebuah ungkapan yang hendaknya di tulis dan direkam serta disebarkan. Ungkapan tersebut adalah
“Sebagaimana seorang mujtahid jika benar maka mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka mendapatkan satu pahala, maka demikian juga orang yang mengikuti seorang mujtahid maka hukumnya sebagaimana hukum mujtahid”.
Yaitu barangsiapa yang mengikuti pendapat yang benar yang dipilih oleh imam mujtahid (yang diikutinya) maka ia akan mendapatkan dua ganjaran. Maka orang ini yang mengikuti mujtahid juga mendapatkan dua ganjaran. Memang tentu saja berbeda antara ganjaran yang diperoleh sang mujtahid dengan ganjaran orang yang mengikutinya. Akan tetapi orang yang mengikutinya juga mendapatkan dua ganjaran. Adapun orang yang mengikuti imam yang lain yang ternyata keliru dan dia mendapatkan satu ganjaran, maka demikian juga orang yang mengikutinya akan memperoleh satu ganjaran.
Jika terjadi khilaf diantara para ulama maka -pertama- hendaknya hal itu tidaklah menjadi sebab perpecahan diantara para ulama yang berselilish tersebut dan -yang kedua- perpecahan diantara masyarakat yang mengikuti para ulama tersebut, karena mereka (para ulama dan yang mengikuti mereka) semuanya mendapatkan ganjaran, sama saja baik orang yang benar pendapatnya maupun yang keliru. Demikianlah para salafus sholeh kita dahulu, padahal kita menyangka bahwa kita berjalan di atas manhaj dan jalan mereka???
Namun yang sangat disayangkan, banyak diantara kita yang mengaku berada di atas dakwah ini ini (manhaj salaf) dan telah menerapkan bagian besar dari manhaj tersebut akan tetapi telah menyimpang dalam beberapa penerapan manhaj tersebut dengan penyimpangan yang sangat berbahaya dan sekarang nampak akibat dari penyimpangan tersebut (yaitu timbulnya perpecahan diantara salafiyin-pen) di sebuah komunitas yang dahulunya kami menyangka komunitas tersebut akan menjadi contoh bagi komunitas-komunitas yang lain dalam meluruskan dan menyatukan komunitas-komunitas tersebut di atas mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj salafus shalih. Akan tetapi sangat disayangkan timbul perpecahan diantara mereka.
Oleh karenanya sebagaimana kami menasehati mereka yang berselisih dari kalangan para ulama, para da’i, dan para penuntut ilmu agar mereka tidak saling memusuhi, akan tetapi hendaknya mereka saling mencintai, dan hendaknya mereka saling memberi udzur diantara mereka dengan tetap saling mengingatkan (kesalahan-kesalahan yang timbul diantara mereka) dengan cara yang terbaik. Demikian juga kami menasehati seluruh umat Islam –dengan seluruh tingkatan masyarakatnya- yang mereka bukanlah ulama, dan juga bukan para penuntut ilmu, wajib juga bagi mereka agar tidak terpengaruh dengan khilaf-khilaf seperti ini yang mereka lihat timbul diantara para da’i. Karena kita membaca di Al-Qur’an bahwasanya perpecahan bukanlah tabi’at (ciri khas) kaum muslimin akan tetapi merupakan sifat orang-orang musyrik. Allah berfirman
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (الروم : 32
Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. 30:31-32)
Dalam rangka mewujudkan barisan yang satu dan persatuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda –sebagaimana dalam shahih Al-Bukhari- tentang para imam yang mengimami orang-orang sholat.
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَؤُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
Mereka sholat untuk kalian, jika mereka benar maka bagi mereka pahala dan juga bagi kalian, dan jika mereka bersalah maka bagi kalian pahala dan atas mereka dosa
Jika demikian wahai engkau –orang awam- yang tidak masuk dalam golongan para ulama yang disebutkan dalam firman Allah
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ (الأنبياء : 7
Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu (QS. 21:7)
Akan tetapi masuk dalam bagian kedua ayat ini
إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (الأنبياء : 7
jika kamu tiada mengetahui. (QS. 21:7)
Kalian wahai kaum muslimin yang kalian tidak berilmu –yaitu bukan termasuk ahlu Adz-Dzikr (para ulama)- , yang wajib bagi kalian adalah kalian bertanya kepada para ulama. Dan bukan kewajiban kalian untuk berta’asshub (fanatik) kepada salah satu individu dari para ulama tersebut kecuali fanatik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disifati oleh Allah –dengan sifat yang benar-
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (النجم : 3-4
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS. 53:3-4)
Dalam kesempatan kali ini, hendaknya kita saling mengingatkan bahwasanya seorang alim atau seorang da’i siapapun juga orangnya maka (1) tidak mungkin kita menyatakan bahwa dia ma’sum (terjaga dari kesalahan), dan (2) tidak mungkin kita menyatakan bahwa dia tidak akan mengikuti hawa nafsunya meskipun hanya dalam satu permasalahan.
Oleh karena itu janganlah engkau –wahai seorang muslim- mengikatkan perjalanan hidupmu dengan salah seorang (individu) dari para ulama tersebut atau dengan salah seorang da’i karena dua perkara:
Yang pertama merupakan perkara yang pasti berlaku pada siapa saja selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu terjatuh dalam kesalahan.
Dan perkara yang kedua yaitu masih berupa kemungkinan, yaitu kemungkinan ulama atau dai tersebut telah mengetahui kebenaran namun ia mengikuti hawa nafsunya maka iapun berfatwa tanpa ilmu menyelisihi kebenaran yang telah diketahuinya.
Oleh karena itu tidak boleh bagi orang-orang awam dari kaum muslimin untuk fanatik kepada seroang da’i dalam rangka membantah da’i yang lain. Akan tetapi perkaranya sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Al-Karim –yang dengan firman Allah ini aku menutup jawabanku ini dalam permasalahan ini- yaitu firman Allah
وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة : 119
Dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. 9:119)
Sebagaimana kita katakan tentang para imam empat madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Sayfi’i, dan Ahmad) kita tidak fanatik kepada salah satu diantara mereka akan tetapi kita mengambil kebenaran dari masing-masing diantara mereka –dan kebenaran tersebar diantara mereka- maka demikian juga seharusnya bagi setiap orang yang mengaku berintsab kepada manhaj salafus shalih janganlah dia menjadi Zaidi (pengikut madzhab si Zaid), atau Umari (pengikut madzhab si Umar) akan tetapi ia mengambil kebenaran yang ia ketahui dari siapa saja orangnya yang datang kepadanya. Inilah yang seharusnya dipraktekan oleh orang-orang awam kaum muslimin.
Dan kita memohon petunjuk kepada Allah bagi kita dan bagi seluruh kaum muslimin.
Alhamdulillahi robbil ‘alamiin.))
Sipenanya berkata, “Wahai syaikh, sebagian orang berkata tentang contoh-contoh perselisihan yang terjadi di kalangan sahabat seperti pendapat yang keliru dari Umar dan Utsman, ini hanyalah permasalahan fikih dan bukan permasalahan manhaj…
Syaikh berkata, “Bagaimanapun juga permasalahannya bukanlah permasalahan ilmiah akan tetapi permasalahan akhlak sebagaimana baru saja telah aku isyaratkan bahwasanya terkadang hawa nafsu ikut masuk dalam permasalahan ini. Adapun solusi permasalahan tersebut dari sisi ilmiah maka sebagaimana yang telah aku sebutkan di akhir ceramah yaitu sebagaimana kita tidak fanatik kepada salah satu dari para imam empat madzhab –padahal kaum muslimin telah sepakat akan keilmuan mereka, kemuliaan mereka, ketakutan mereka terhadap Allah, dan mereka tidaklah mengucapkan sesuatu (fatwa) kecuali mereka tenang (yakin) akan kebenaran ucapan tersebut meskipun mereka juga tidak terlepas dari kesalahan sebagaimana telah kami jelaskan-, maka kami menasehati mereka agar tidak fanatik kepada individu-individu tersebut yang mereka tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan para imam empat madzhab tersebut. Hendaknya mereka mengambil kebenaran dari siapa saja datangnya kebenaran tersebut.
Akan tetapi melawan hawa nafsu merupakan perkara yang sangat berat, oleh karena itu kami memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allah dan agar tidak saling membenci dan saling menjauhi yang kita telah dilarang dari hal-hal tersebut dalam Al-Qur’an dan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akhlak yang buruk tidaklah diobati dengan hanya sebuah ceramah dan nasehat. Adapun kesalahan bisa diobati dengan dijelaskan bahwa hal itu salah sebagaimana ditunjukan dalam Al-Kitab atau As-Sunnah. Adapun jika seseorang telah mengetahui kebenaran dan tetap berpaling dari kebenaran tersebut, mengetahui bahwa orang yang dia ikuti tersebut tidaklah maksum lantas ia tetap fanatik kepadanya, dia tahu juga orang yang lain juga seperti itu lantas tetap fanatik kepadanya, maka orang seperti ini tidak ada obatnya kecuali dengan bertakwa kepada Allah. Inilah yang bisa kami sampaikan
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلهَ إلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
((Hingga di sini nasehat pertama Syaikh Al-Albani Dari Silsilah Al-Huda Wan Nuur no 779 yang direkam pada tanggal 14 Sya’ban 1414 H (26 Januari 1994 M) dengan judul kaset “As-Siyasah Asy-Syar’iyah”))
Nasehat kedua
Meskipun nasehat ini ditujukan kepada salafiyin secara umum namun seakan-akan nasehat yang agung ini ditujukan kepada salafiyin di Indonesia secara khusus….Wallahul Musta’aan wa ilaihi At-tuklaan
Syaikh Al-Abani berkata,
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً
أَمَّا بَعْدُ،
فَإِنَّ خَيْرَ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
وَبَعْدُ
Kita telah mengetahui bersama sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
” الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ”، قَالُوا : “لِمَنْ يَا رَسولَ الله؟”. قَالَ : “لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ”
“Agama adalah nasehat, agama adalah nasehat, agama adalah nasehat”. Mereka (para sahabat) bertanya, “Nasehat bagi siapakah wahai Rasulullah?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bagi Allah, bagi kitabNya, bagi RasulNya, bagi para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum”
Kita -kaum muslimin- sekarang ini termasuk kaum muslimin secara umum yang wajib bagi setiap pemberi nasehat untuk menujukan nasehatnya kepada mereka. Dan dalam bentuk yang lebih khusus yaitu kita “salafiyin” yang mewakili sisi yang besar dari jumlah kaum muslimin yang sangat banyak, dan “salafiyin” merasa bangga karena Allah telah memuliakan mereka diantara kaum muslimin yang begitu banyak dengan memudahkan mereka untuk memahami tauhid yang merupakan dasar keselamatan di akhirat dari adzab yang abadi. Tauhid ini telah kita pelajari, telah kita fahami dengan baik, serta telah kita realisasikan dalam aqidah kita. Akan tetapi kesedihan telah memenuhi hatiku…, aku merasa bahwasanya kita telah tertimpa penyakit gurur (terpedaya) dengan diri sendiri tatkala kita telah sampai pada aqidah ini serta perkara-perkara yang merupakan konsekuensi dari aqidah ini yang telah kita ketahui bersama seperti beramal dengan dasar Al-Kitab dan As-Sunnah dan tidak berhukum kepada selain Al-Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita telah melaksanakan hal ini yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim –yiatu pemahaman yang benar terhadap tauhid dan beramal dengan Al-Kitab dan As-Sunnah- yang berkaitan dengan fikih yang dimana kaum muslimin telah terpecah menjadi beragam madzhab dan telah menempuh jalan yang berbeda-beda seiring dengan berjalannya waktu yang panjang selama bertahun-tahun.
Akan tetapi nampaknya –dan inilah yang telah aku ulang-ulang dalam banyak pengajian- bahwasanya dunia Islam ini –dan termasuk di dalamnya adalah para salafiyin sendiri- telah lalai dari sisi-sisi yang sangat penting dari ajaran Islam yang telah kita jadikan sebagai pola pikir kita secara umum dan mencakup seluruh sisi kehidupan. Diantara sisi penting tersebut adalah akhlak yang mulia dan istiqomah dalam menempuh jalan.
Banyak dari kita yang tidak perduli dengan sisi ini -yaitu memperbaiki akhlak dan memperindah budi pekerti- padahal kita semua membaca dalam kitab-kitab sunnah yang shahih sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ السَّاهِرَ بِاللَّيْلِ الظَّامِىءِ بِالْهَوَاجِرِ
Sesungguhnya seseorang dengan akhlaknya yang mulia mencapai derajat orang yang bergadang (karena sholat malam) dan orang yang kehausan di siang yang panas (karena puasa) (As-Silsilah Ash-Shahihah no 794)
Kita juga membaca dalam Al-Qur’an Al-Karim bahwasanya bukanlah termasuk akhlak Islam adanya perselisihan diantara kaum muslimin -dan secara khusus adalah kita yaitu diantara para salafiyin- hanya karena perkara-perkara yang semestinya tidak sampai menimbulkan perselisihan dan pertikaian. Kita membaca firman Allah tentang hal ini
وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ (الأنفال : 46
Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu (QS. 8:46)
Sungguh merupakan perkara yang benar-benar sangat menyedihkan dan amat sangat disayangkan yaitu apa yang kita dengar –bukan hanya yang terjadi di negeri-negeri Islam saja (Perselisihan dan perpecahan yang terjadi antara kaum muslimin (bahkan salafiyin) bukan hanya terjadi di negeri-negeri muslimin saja, bahkan juga terjadi di negeri-negeri kafir yang kaum muslimin merupakan minoritas di negeri-negeri tersebut-pent)- bahwasanya kaum muslimin terpecah belah menjadi banyak kelompok dan partai-partai yang beraneka ragam, bahkan sampai-sampai mereka berpecah belah padahal mereka sedang dalam peperangan melawan orang-orang kafir yang menduduki sebagian negeri kaum muslimin –seperti saudara-saudara kita di Afganistan-. Kita semua tahu bahwasanya mereka sekarang sedang berperang melawan orang-orang komunis (Hal ini menunjukan bahwa nasehat ini disampaikan oleh Syaikh di masa peperangan pertama yang terjadi di Afganistan antara kaum muslimin dan Rusia -pent), namun yang sangat disayangkan mereka telah terpecah belah menjadi berkelompok-kelompok. Hal ini tidaklah terjadi kecuali karena mereka telah berpaling dari sebagian ajaran Islam seperti arahan untuk bersatu dan menjauhi perpecahan, perselisihan dan pertikaian. Dan ayat yang lalu sungguh jelas dalam menjelaskan hal ini
وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ (الأنفال : 46
Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah (QS. 8:46)
Aku katakan bahwasanya perselisihan dan pertikaian ini tidak hanya berhenti pada negeri-negeri yang berada jauh dari kita bahkan pertikaian tersebut juga telah sampai pada kita salafiyin, dan kita salafiyin menyangka bahwasanya kita telah berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih. Kita tidaklah mengingkari karunia yang telah Allah berikan kepada kita dengan memberi hidayah kepada kita untuk bertauhid dan beramal dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, namun bukankah termasuk perkara-perkara yang terdapat dalam As-Sunnah adalah janganlah kita saling mendengki (saling hasad)?, saling membenci?, dan hendaknya kita menjadi saling bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnahnya???. Benar, hal ini merupakan perkara-perkara yang benar-benar telah kita ketahui, namun kita belum menerapkannya dalam praktek nyata, dan semoga kita bisa menerapkannya serta berusaha untuk bisa merealisasikannya.
Yang sangat disayangkan terjadinya bentuk pertikaian dan perpecahan hanya karena perkara-perkara yang sangat sepele. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk selalu meletakkan di hadapan kedua mata kita apa yang dinamakan dalam bahasa modern dengan “Toleransi agama” akan tetapi dengan pengertian yang diperbolehkan dalam ajaran Islam. Karena kalimat “Toleransi agama” terkadang diperluas maknanya hingga melebar pada perkara-perkara yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Namun maksud kita di sini adalah toleransi agama dengan makna yang benar.
Maksudnya jika kita melihat seseorang yang bukan dari kalangan salafiyin –terlebih lagi jika dari kalangan salafiyin- bahwasanya ia memiliki pendapat yang khusus (nyeleneh) atau ijtihad yang khusus atau memang benar-benar kita melihatnya melakukan kesalahan dalam tindak-tanduknya, maka janganlah kita segera langsung membentaknya kemudian memutuskan hubungan dengannya (menghajrnya), akan tetapi hendaknya kita menempuh metode nasehat sebagaimana kita telah membuka pengajian ini dengan hadits ” الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ ((Agama adalah nasehat, agama adalah nasehat)).
Jika kita menasehatinya kemudian diapun menerima nasehat kita maka inilah yang kita harapkan. Adapun jika dia tidak menerima nasehat kita maka apa boleh buat?, tidak ada jalan lain bagi kita. Tidak boleh kita menjauhinya dan menghajrnya, akan tetapi hendaknya kita tetap bersama dengan dia dan kita terus memberikan nasehat kepadanya waktu demi waktu dan kondisi demi kondisi hingga dia kembali lurus dengan benar.
Dalam banyak pengajian-pengajian kami yang khusus –apalagi di luar pengajian-, kami perhatikan ada dua orang yang bertikai dalam satu permasalahan maka masing-masing menghendaki untuk membawakan permasalahan yang mereka pertikaikan sesuai dengan kepentingannya. Dia tidak menyampaikan permasalahannya sebagaimana mestinya sehingga mengetahui apakah dia benar atau bersalah, yaitu pembahasan yang dilakukan adalah untuk sampai pada kebenaran yang diperintahkan oleh Allah dan bukan untuk agar akulah yang menang, akulah yang benar dan dialah yang keliru.
Oleh karena itu wajib bagi kita untuk mengingat munasabah (keterkaitan) beberapa ayat dan hadits-hadits yang shahih yang menurutku tidak seorangpun dari kita yang tidak mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut, akan tetapi tidak membenarkannya dalam bentuk amalan. Oleh karena itu aku telah menyiapkan beberapa ayat yang mulia (dalam selembar kertas-pen) –untuk membantu hapalanku yang lemah- yang ayat-ayat tersebut memberi faedah kepada kita dalam permasalahan yang sedang kita bicarakan dan semoga Insya Allah bisa mengembalikan kita di atas satu tangan, dalam satu barisan, sehingga tidak seorang dari kita menghajr saudaranya yang lain akan tetapi terus memberi nasehat kepadanya.
Kita semua mengetahui firman Allah
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (الحجرات : 10
Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. 49:10)
Taqwa yang disebutkan dalam ayat ini maknanya adalah umum mencakup sikap menjauhi seluruh perkara yang menyelisihi perintah Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara taqwa juga adalah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya berupa petunjuk dan cahaya, yang antara lain adalah perkara yang disebutkan sebelum perintah untuk bertakwa dalam ayat ini, yaitu فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ((damaikanlah antara kedua saudaramu yang bertikai)). Yaitu hendaknya berusaha untuk mendamaikan diantara saudara-saudara kalian jika nampak tanda-tanda yang menunjukan akan timbulnya perpecahan. Dan perpecahan di sini bukan hanya berkaitan dengan perpecahan dalam permasalahan aqidah saja bahkan juga berkaitan dengan hukum-hukum syar’i yang dibawa oleh agama Islam.
Inilah ayat
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (الحجرات : 10
Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. 49:10)
Dan rahmat yang kita semua harapkan dari Allah hanyalah bisa kita peroleh dengan bertakwa kepada Allah yang diantara bentuk ketakwaan tersebut adalah mendamaikan diantara kaum muslimin yang berselisih.
Demikian juga datang dalam Al-Qur’an
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (آل عمران : 103
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. 3:103)
Tidaklah diragukan bahwa ayat ini ditujukan kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Allah menyampaikan kepada mereka dengan firmanNya وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ((dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya)). Bagaimanakah Allah menyelamatkan mereka??, tentu saja dengan mengutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dengan Al-Kitab dan dengan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perhatikanlah…!, apakah kita juga memiliki bagian dari ayat ini (yaitu apakah ayat ini juga mencakup kita, tidak hanya sahabat saja-pen)?. Kita memuji Allah bahwasanya kita juga memiliki bagian yang tidak ringan dari ayat yang mulia ini, terutama bagian tengah ayat yaitu firman Allah
وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً
Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara
Siapakah yang telah menyatukan hati kita dan mengumpulkan kita di sini dan di sana??, yang menyatukan kita hanyalah iman dengan kewajiban kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta selalu berhukum kepada keduanya tatakla nampak tanda-tanda yang mengisyaratkan akan timbulnya perselisihan dan perpecahan. Sebagaimana firman Allah yang telah kalian ketahui bersama
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (النساء : 59
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)
Ini merupakan karunia yang Allah berikan kepada kita dan Allah mengingatkan kita akan karunia ini dengan khitob yang Ia tujukan kepada kita pada firmanNya yaitu sesuai dengan keumuman ayat -adapun para sahabat ditujukan secara khusus-, yaitu firman Allah
وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا (آل عمران : 103
Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. (QS. 3:103)
Kita dahulu hidup sebagaimana kebanyakan kaum muslimin sekarang –dan mereka adalah orang-orang Islam-, akan tetapi kebanyakan mereka –kalau tidak kita katakan mayoritas mereka- cocok dikatakan kepada mereka firman Allah
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ (يوسف : 106
Dan sebagian besar dari mereka tidaklah beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (QS. 12:106)
Alhamdulillah, Allah telah menyelamatkan kita dari kesyirikan, bahkan dari segala macam bentuk-bentuk kesyirikan. Ini merupakan kenikmatan terbesar yang Allah karuniakan kepada kita. Akan tetapi wajib bagi kita untuk benar-benar merealisasikan kesempurnaan nikmat ini dengan mewujudkan persatuan dan menjauhi perselisihan diantara kita sebagaimana yang telah diperintahkan oleh awal ayat ini yaitu
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai
Dan diantara sebab untuk menyatukan barisan dan pandangan (visi) yaitu jika nampak dari sana sesuatu yang menandakan akan timbulnya khilaf maka sebagaimana yang baru saja aku sampaikan maka kita mengatasinya dengan menegakkan sikap saling nasehat-menasehati dalam menjalankan agama Allah (tidak langsung menghajr-pen).
Akan tetapi nasehat ini harus ditunaikan sebagaimana perintah Allah dalam firmanNya
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل : 125
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 16:125)
Ayat ini terlalu sering kita baca di Al-Qur’an akan tetapi yang sangat disayangkan kita terlalu sering keluar dari pengamalan ayat ini. Kita tidak mengamalkanya, tidak mengajak saudara-saudara kita (untuk menerapkan ayat ini) dalam cara pandang dan dalam manhaj salafi, apalagi mengajak selain salafiyin. Sangat jarang kita menempuh metode ini yang Allah telah memerintahkan kita untuk menempuhnya.
Firman Allah وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ((dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik)), hal ini menuntut apa yang baru saja aku jelaskan tadi yaitu menuntut adanya sebuah toleransi. Dan toleransi ini menuntut dari kita dua perkara.
Yang pertama, masing-masing dari kita harus menanamkan dalam benak kita bahwasanya wahyu tidak akan turun kepadanya membenarkan pendapatnya. Jika demikian maka bisa jadi dialah yang bersalah dan orang yang sedang didebatnya dan dibantahnya dialah yang berada di atas kebenaran. Seyogyanya setiap kita tatkala berdialog dengan sahabatnya hendaknya dia selalu mengingat hal ini. Kita bukanlah orang yang ma’sum (terjaga dari kesalahan), siapapun kita !!!, apakah kita orang yang sedang menuntut ilmu ataupun orang yang ‘alim. Sering sekali terjadi apa yang dikatakan oleh para ulama, “Terkadang terdapat pada orang yang terbelakang apa yang tidak terdapat pada orang yang didepankan”. Terkadang orang yang ‘alim di atas kesalahan dan orang penuntut ilmu yang berada di atas kebenaran. Terkadang seorang penuntut ilmu berada di atas kesalahan dan orang awam –yang tidak menuntut ilmu- berada di atas kebenaran.
(Yang kedua), sikap selalu mengingat hal ini menjadikan seseorang selalu tenang dan tidak tergesa-gesa serta bersikap lembut terhadap sahabatnya tatkala berdialog dengannya.
Hal ini merupakan adab yang diambil dari Al-Qur’an Al-Karim, karena Allah menyebutkan dalam kitabNya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala berbicara (berdialog) dengan kaum musyrikin –dan tentu jelas jauh berbeda antara kaum musyrikin yang berada di atas kesesatan mereka dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya yang berada di atas kebenaran-, namun meskipun demikian Allah telah mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan adab yang mulia ini yang kita sebut dengan “toleransi” maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata –sebagaimana d